LUWU RAYA — Ketua Badan Pengurus Wilayah (BPW) Kerukunan Keluarga Luwu Raya (KKLR) Sulawesi Selatan, Ir. Hasbi Syamsu Ali, MM, kembali menggaungkan pentingnya menjaga semangat persatuan masyarakat Luwu Raya melalui pelestarian nilai-nilai budaya dan simbol Kedatuan Luwu.
Hal ini ia sampaikan usai menghadiri dua momen penting, yakni Hari Jadi Kabupaten Luwu Timur ke-21 pada 19 Mei 2025 dan Hari Jadi Kabupaten Luwu Utara ke-26 sehari setelahnya.
“Dua hari ini menjadi momentum luar biasa. Kita tidak hanya merayakan ulang tahun daerah, tetapi juga menyaksikan betapa antusias dan solidnya masyarakat dalam merawat semangat persatuan,” ujar Hasbi di Luwu Raya, Selasa (20/5/2025).
Dalam perayaan Hari Jadi Luwu Timur, Bupati Irwan Bachri Syam menampilkan capaian pembangunan strategis, termasuk peluncuran Kartu Pintar dan Kartu Lansia sebagai inovasi layanan publik. Sementara di Luwu Utara, Bupati Andi Abdullah Rahim menggulirkan program “Solusi Lutra” yang fokus pada penguatan sektor pertanian dan ketahanan pangan.
“Mulai dari pembagian alat semprot, alat bantu panen padi, sampai rencana perluasan lahan sawah, semua itu progres nyata. Tapi yang paling penting adalah semangat gotong royong dan kekompakan para pemimpin di Luwu Raya yang saling mendukung,” kata Hasbi.
Kedatuan Luwu, Perekat Identitas Lintas Suku
Hasbi secara khusus menekankan bahwa persatuan masyarakat Luwu tidak dibangun di atas kesamaan bahasa atau agama seperti di daerah lain, melainkan melalui simbol sejarah Kedatuan Luwu.
Baginya, inilah yang menjadi kekuatan utama masyarakat Luwu Raya yang tersebar di empat wilayah—Luwu, Luwu Utara, Luwu Timur, dan Kota Palopo.
“Di tempat lain, bahasa atau agama menjadi pemersatu. Tapi di Luwu, kita disatukan oleh sejarah panjang Kedatuan. Luwu itu bukan sekadar suku, tapi bangsa. Di dalamnya ada To Ugi, To Rongkong, To Pamona, To Seko, dan banyak anak suku lainnya yang dipersatukan oleh simbol budaya yang sama,” ungkapnya.
Ia bahkan menyebut bahwa ikatan emosional masyarakat Luwu terhadap identitas leluhur sangat kuat, melampaui sekat formal agama atau etnis.
“Kadang orang bisa saja tak terlalu taat secara agama, tapi kalau dikatakan bukan orang Luwu, dia akan tersinggung. Itu artinya, ikatan sejarah lebih kuat daripada identitas semata,” tegas Hasbi.
Simbol Budaya Harus Terus Dihidupkan
Hasbi juga menyampaikan apresiasi atas kehadiran simbol-simbol budaya dan wakil Kedatuan Luwu dalam dua perayaan hari jadi tersebut.
Ia menyebut hal itu sebagai bukti nyata bahwa nilai-nilai leluhur masih menjadi bagian penting dalam dinamika pemerintahan dan pembangunan.
“Sejak awal kemerdekaan, Luwu sudah berada di belakang NKRI. Kini, tanggung jawab kita adalah merawat simbol-simbol budaya itu sebagai pengingat jati diri dan warisan sejarah kita,” katanya.
Sebagai informasi, Kedatuan Luwu merupakan salah satu kerajaan tertua di Sulawesi Selatan, yang diyakini berdiri sejak abad ke-13. Dalam karya sejarawan Anthony Reid, Southeast Asia in the Age of Commerce, Luwu disebut sebagai salah satu pusat kekuatan ekonomi dan politik penting di jazirah Sulawesi sebelum masuknya kolonialisme Belanda.
Kini, meski telah menjadi bagian dari sistem pemerintahan modern, simbol Kedatuan tetap eksis dan diakui sebagai representasi budaya masyarakat Luwu Raya.
Momentum seperti peringatan hari jadi daerah menjadi ruang yang memperkuat kembali kesadaran kolektif akan sejarah panjang yang telah membentuk identitas bersama.
“Yang membuat kita tetap satu bukan hanya pembangunan fisik atau program pemerintahan. Tapi karena kita punya akar sejarah yang sama. Kedatuan adalah rumah besar kita semua,” pungkas Hasbi. (*)